Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Gereja Menanggapi Wabah di Sepanjang Sejarah


Tidak hanya ibadah, tugas utama dari gereja Kristen ada dalam aspek kepedulian, pengorbanan, pengabdian kepada sesama, bahkan di luar komunitas kristen. Dengan adanya wabah COVID-19 ini, gereja seperti dituntut untuk kembali menginspirasi dan meredakan kekalutan umatnya.

Sekarang ini dunia sedang akrab dengan ketakutan eksistensial serta ketakutan akan kematian. Bagaimana tidak, vaksin ataupun antibiotik tidak kunjung ditemukan untuk menyelamatkan penderita wabah ini.Pengalaman ini sangat baru untuk generasi muda saat ini, atau untuk orang-orang yang lahir di zaman moderen ini. Bahkan tidak jarang dari kita yang membutuhkan dukungan psikologis dan budaya baru untuk pencegahan virus ini.


Mungkin dari kejadian ini, kita dapat belajar dari orang-orang Kristiani dari tradisi Gereja Lutheran. Jemaat ini sudah pernah mengalami kondisi serupa di masa lalu. Penjelasan ini akan dimulai dari beberapa ajaran Yesus yang terkenal: "Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka" (Lukas 6:31); "Kasihilah sesamamu manusia seperti mengasihi dirimu sendiri." (Markus 12:31), atau "Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yohanes 15:13).

Sederhananya, etika Kristen di masa wabah menganggap hidup kita sendiri harus selalu dianggap kurang penting daripada kehidupan sesama manusia.

Di periode awal wabah pada era kekaisaran Romawi yang dicatat oleh sejarawan Wabah Antonine pada abad ke-2 telah membunuh lebih dari seperempat Kekaisaran Romawi. Disini umat Kristiani merawat mereka yang sakit dengan disertai dengan keyakinan jika wabah terjadi bukan karena dewa-dewa, kutukan atau sebagainya, tetapi hasil dari penciptaan yang rusak dalam pemberontakan melawan kasih Allah.

Wabah Siprianus membantu memicu Krisis Abad Ketiga di peradaban Romawi. Namun, wabah itu juga memicu ledakan pertumbuhan Kristen. Pemimpin gereja pada saat itu memberi tahu orang-orang Kristen untuk tidak berduka bagi para korban wabah (yang telah tinggal di surga), tetapi untuk melipatgandakan upaya dalam merawat yang masih hidup. Pada saat itu tanpa peduli bahaya orang-orang Kristen mengambil alih perawatan orang sakit dan memenuhi setiap kebutuhan mereka.

Baca juga: Gereja LakeWood Joel Osteen Bermitra Dengan World Vision Untuk Memberi Makan Bagi Yang Lapar


Satu abad kemudian, Kaisar Julianus yang secara aktif memberitakan bagaimana "orang-orang Galilea" merawat bahkan orang-orang sakit yang bukan Kristen. Sementara itu, sejarawan gereja Pontianus menceritakan bagaimana orang-orang Kristen memastikan, "Kebaikan telah dilakukan untuk semua orang, tidak hanya di keluarga umat beriman."

Sosiolog dan ahli demografi agama dari Amerika Serikat Rodney Stark mengklaim, tingkat kematian di kota-kota dengan komunitas Kristen mungkin hanya setengah dari kota-kota lain.

Kebiasaan perawatan yang penuh pengorbanan ini telah muncul di sepanjang sejarah. Pada 1527, ketika wabah pes melanda Wittenberg, Jerman, profesor teologi dan pendiri gerakan Protestan Martin Luther menolak panggilan untuk melarikan diri dari kota dan melindungi dirinya sendiri. Sebaliknya, ia tetap tinggal dan melayani orang sakit, dan mengorbankan Elizabeth putrinya. Ia menuturkan secara jelas tentang respons epidemi oleh umat Kristen: Kita mati di pos-pos kita. Para dokter Kristen tidak dapat meninggalkan rumah sakit mereka, gubernur Kristen tidak dapat meninggalkan distrik mereka, para pendeta Kristen tidak dapat meninggalkan jemaat mereka. Wabah tidak akan membatalkan tugas kita, menurut Martin Luther, melainkan mengubah tugas kita menjadi jalan salib, yang dengannya kita harus siap untuk mati.

Bagi orang-orang modern yang mengenal teori penyakit akibat kuman, ini semua bisa terdengar agak bodoh. Merawat orang sakit kedengarannya menyenangkan, tetapi kemungkinan besar menginfeksi orang lain demi menyelamatkan nyawa. Di sini, elemen kedua dari pendekatan Kristen muncul: aturan ketat terhadap bunuh diri dan melukai diri sendiri. Tubuh adalah anugerah dari Tuhan dan harus dilindungi. Atau, seperti yang dikatakan Martin Luther dalam esainya tentang topik tersebut, manusia tidak boleh "mencobai Tuhan."

Baca juga: Pendeta New York Mengatakan Tuhan Mulai Menyembuhkannya Dari COVID-19 Setelah Dokternya Berdoa Untuknya


Dalam masyarakat yang semakin individualis, pandemi COVID-19 dapat dengan cepat bermutasi menjadi epidemi keputusasaan. Kehadiran Gereja berfungsi sebagai panggilan sosial. Bersemangatlah untuk berkorban demi orang lain, bahkan dengan mengorbankan hidup kita sendiri. Kita perlu bersikap obsesif dalam menjaga rutinitas higienis yang cermat untuk menghindari menulari orang lain. Kita harus mengandalkan komunitas untuk merawat pikiran dan jiwa. Ketika dunia terlambat menyadari fakta era epidemi belum berakhir, gagasan-gagasan kuno ini jelas masih relevan di zaman modern.

Posting Komentar untuk "Cara Gereja Menanggapi Wabah di Sepanjang Sejarah"