Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perjalanan Tiga Wanita Ateis Kuat Menuju Kekristenan: Mengikuti Jejak CS Lewis


Ketika akademisi Oxford, CS Lewis menulis tentang masa dewasanya yang mengubah kepercayaannya dari ateisme ke Kristen dalam Surprised by Joy (HarperCollins) pada tahun 1955, buku itu menjadi klasik apologetika, yang masih dibaca oleh orang Kristen dan para pencari hingga hari ini.

Kisahnya mencakup kesadaran bahwa kepercayaannya pada keadilan dan moralitas memerlukan pemberi hukum moral yang transenden dan bahwa klaim Yesus sebagai Anak Allah hanya masuk akal jika hal itu benar.


Tetapi ada banyak orang yang bertobat di zaman modern yang perjalanannya menggemakan pencarian Lewis akan kebenaran. Para Orang Kristen dapat belajar banyak dari apa yang membuat orang lain beriman. Ini adalah tiga kisah tentang bagaimana moralitas, keindahan, dan cinta menuntun tiga orang yang skeptis kepada pribadi Kristus.

Kisah yang akan Anda baca adalah tentang tiga wanita kuat yang memiliki perjalanan intelektual yang menuntun pada pertobatan mereka dari ateisme menjadi Kristen.

Holly Ordway

Kebanyakan orang, orang percaya atau bukan, mengalami saat-saat istimewa ketika mereka menemukan musik, seni, dan sastra yang sangat menyentuh mereka. Bagaimana jika saat-saat istimewa itu yang mengganggu hidup kita sebenarnya mengarahkan kita kepada Tuhan? Saat-saat seperti itu adalah  tonggak pementasan dalam kehidupan awal CS Lewis ketika dia berjuang untuk membuat ateismenya sesuai dengan pengalaman sukacitanya ketika dia menemukan puisi, sastra, musik dan keindahan yang tampaknya milik dunia lain, sebuah proses yang dia jelaskan dalam Surprised by Joy.

Dosen sebuah universitas ini, Holly Ordway juga mengembangkan kecintaannya terhadap sastra dan puisi ketika kecil, Chronicles of Narnia yang ditulis oleh Lewis dan The Lord of the Rings yang ditulis oleh Tolkien. Dibesarkan di sebuah rumah sekuler di AS, dia tidak menyadari alegori Kristen di keduanya. Dalam tinjauan kembali dia percaya bahwa Tuhan bekerja melalui imajinasinya bahkan ketika dia menghilangkan gagasan agama sebagai tidak relevan.


Ketika Holly masuk ke pendidikan yang lebih tinggi, ketidakpercayaannya semakin kuat menjadi ateisme, tetapi ketika dia memulai karier mengajar sastra dan puisi, dia tiba-tiba menemukan dirinya terlepas oleh kekuatan dari apa yang sedang dia baca, terutama dalam tradisi Kristen. Dia menggambarkan pengalaman itu: "Saya ingat membaca pembukaan soneta dari John Donne, Batter my heart, three person’d God; for you as yet but knock, breathe, shine, and seek to mend'. Saya merasa seperti telah menyentuh kawat hidup. Itulah titik di mana imajinasi yang telah menjadi sungai di bawah permukaan dalam diri saya mulai meluap dan saya pikir, 'Ada sesuatu yang terjadi dalam puisi ini, dan saya bertanya-tanya apa itu'. "

Menemukan hal seperti ini membawa Holly ke titik percaya adanya Tuhan yang menembakkan makna imajinatif dalam dirinya, tetapi pada akhirnya akan menuntunnya untuk juga menyelidiki kepercayaan penyair Kristen seperti Gerard Manley Hopkins dan TS Eliot yang tulisannya terhubung dengan begitu mendalam : "Saya memiliki dua langkah pertobatan, pertama untuk percaya pada Tuhan kemudian percaya kepada Kristus. Jika saya tidak menjadi yakin bahwa kebangkitan adalah peristiwa dalam sejarah, saya akan tetap menjadi seorang ateis. Jadi, saya akhirnya menjadi seorang Kristen, ketika imajinasi dan alasan menjadi satu. Saya sekarang melihat apa yang diberikan orang-orang seperti Gerard Manley Hopkins (mewariskan penyair favorit saya) berikan kepadaku sebelum saya menjadi seorang Kristen adalah sedikit gambaran dunia yang menunjukkan kepada saya bahwa hal itu masuk akal dalam suatu cara yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya sekarang telah melangkah ke dunia itu."

Setelah mengalami tikaman kegembiraan itu, Holly beralih dari menghargai karya para penyair tersebut menjadi melompat ke arus realitas yang sama yang mereka huni. Ini adalah pengalaman CS Lewis juga. Dalam esai pendeknya yang hanya sedikit yang tahu dengan judul Meditation in a Toolshed, dia menulis tentang perbedaan antara memahami sesuatu melalui pengamatan dan pengalaman. Antropolog yang mempelajari agama dapat memberikan penjelasan sosiologis yang meyakinkan tentang mengapa orang percaya, seperti halnya ahli biologi dapat memberikan penjelasan kimia untuk cinta yang Anda rasakan terhadap pasanganmu.

Lewis menyamakan ini dengan berdiri di gudang perkakas gelap dan melihat seberkas cahaya menembus dari celah di bagian atas pintu. Ini memberi kamu gambaran tentang apa berkas cahaya itu. Tetapi posisikan kembali dirimu untuk berdiri memandangi sinar cahaya, dan gudang gelap itu sendiri akan lenyap digantikan oleh matahari yang cerah dan puncak-puncak pohon yang melambai di luar.


Lewis menulis: "kamu mendapatkan sebuah pengalaman dari suatu hal ketika kamu melihat di sepanjang itu dan yang lainnya ketika kamu melihatnya. Manakah pengalaman yang 'benar' atau 'sah'? Yang mana yang paling banyak memberitahumu tentang hal itu?"

Holly telah meminjam metafora Lewis, mengatakan tentang penyair Kristen yang dia cintai: "Saya telah melangkah kedalam 'seberkas cahaya' sehingga saya bisa melihat bersama mereka, dan mereka dapat menunjukkan kepada saya lebih dari yang mereka bisa sebelumnya."

Jennifer Fulwiler

Seperti yang diketahui orang tua, kelahiran seorang anak adalah peristiwa yang mengubah hidup. Prioritas, gaya hidup, dan pola tidur semuanya diatur ulang dengan cepat untuk menampung hal yang paling penting yang kini telah ada dalam kehidupan seseorang. Namun, bagi sebagian orang, perubahan berjalan bahkan lebih dalam dari pada itu.

Jennifer Fulwiler tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih, tetapi di mana agama dilukis sebagai sesuatu yang jelas-jelas salah. Jennifer mengatakan bahwa dia tidak pernah mengingat saat ketika dia percaya pada Tuhan. Dibesarkan dengan diet "sains, alasan dan pemikiran rasional berbasis bukti", bacaan sebelum tidurnya adalah buku astronomi Carl Sagan, Cosmos. Dari usia muda dia tahu bahwa dunia berjalan sesuai dengan seperangkat hukum alam yang sudah ada sejak lama dan sains adalah cara de facto untuk memahami segalanya. Semua bukti menegaskan bahwa kita hidup di dunia materi dari zat, molekul, elektron, dan proton, tanpa membutuhkan Tuhan. Jennifer tetap menjadi seorang ateis yang bahagia sebagai orang dewasa dan memasuki tahun-tahun awal pernikahannya.


Namun, tak lama setelah kelahiran anak pertamanya, dia mengalami perubahan dramatis dalam pemikirannya. Jennifer menggambarkannya seperti ini: "Saya melihat ke bawah dan berpikir: 'Apa bayi ini?' Dan saya pikir, "Dari sudut pandang ateis murni, perspektif materialis, dia adalah kumpulan reaksi kimia yang berkembang secara acak." Dan saya menyadari jika itu benar maka semua cinta yang kurasakan untuknya tak lebih dari reaksi kimia di otak kita. Dan saya menatapnya dan saya berpikir: "Itu tidak benar. Itu bukan kebenaran."

Momen ini adalah titik balik bagi ibu muda itu. Dia memulai pencarian untuk melihat apakah agama masuk akal dan mulai melihat ke dalam spiritualisme, Budha, Hinduisme, dan mistisisme. Satu-satunya agama yang di luar pertimbangan adalah agama Kristen – orang tuanya telah melakukan pekerjaan yang seksama untuk memastikan Jennifer menganggapnya salah. Akhirnya suaminya (juga yang tidak percaya pada saat itu) membujuknya untuk memeriksa klaim-klaim agama Kristen. Lagi pula, jika itu salah, itu harusnya mudah diberhentikan. Namun, penyelidikannya membuat Jennifer menyimpulkan bahwa Yesus benar-benar seperti yang dikatakan, sebuah perjalanan yang dijelaskan dalam bukunya Something Other Than God (Ignatius Press).

Perubahan pikiran Jennifer dimulai ketika sesuatu muncul di kepalanya. Penjelasan-penjelasan ilmiah yang telah dibesarkannya tidak cukup untuk menjelaskan totalitas dari apa yang dia sedang alami dalam ikatan dengan anaknya. Pada tingkat ilmiah, dia akan cukup tahu bahwa ketika dia melihat bayinya, sejumlah besar neuron yang menambah kecepatan di otaknya akan menghasilkan serangkaian reaksi kimia dan hormon, dan bahwa itu akan berkontribusi pada desakan emosi untuk melindungi dan merawat putranya yang baru lahir dengan setiap bagian dari keberadaannya. Tetapi deskripsi fisik itu sendiri tidak dapat menjelaskan pengalaman cinta sejati yang sesungguhnya.

Itu adalah fenomena yang juga dikenal CS Lewis. Jika (seperti yang diklaim oleh banyak ateis) dunia benar-benar bermuara pada serangkaian proses kimia dan fisik yang kompleks, maka cinta, keindahan, makna, dan bahkan kebenaran itu sendiri hanyalah ilusi dari pikiran mekanik: "Jika pikiran sepenuhnya bergantung pada otak, dan otak bergantung pada biokimia, dan biokimia (dalam perjalanan yang panjang) bergantung pada fluks atom yang tidak berarti, saya tidak dapat memahami bagaimana pemikiran pikiran-pikiran itu memiliki makna yang lebih penting daripada suara angin di pepohonan."


Namun, pada akhirnya, bahkan mereka yang percaya dunia diatur oleh hukum fisik merasa sulit untuk percaya bahwa cinta hanyalah ilusi. 1 Yohanes 4:8 menyatakan bahwa "Allah adalah kasih". Bagi Lewis dan Fulwiler, hanya keberadaan Tuhan yang bisa memengaruhi keyakinan mendalam kita akan cinta.

Leah Libresco

Pada tahun 2012, matematikawan dan yang menggambarkan dirinya sebagai "ateis yang ahli dan bergairah dalam suatu bidang" Leah Libresco muncul di acara radio saya Unbelievable? Untuk mendiskusikan perubahan kepercayaannya menjadi Kristen. Sampai tahun itu Leah telah menjadi seorang blogger yang bereputasi di saluran ateis dari jaringan Patheos, menulis tentang matematika dan skeptisisme dan berinteraksi dengan cara yang ramah dengan banyak orang Kristen.

Tapi sesuatu yang disebut 'argumen moral' telah menggangu Leah selama bertahun-tahun.

Dia tidak dapat melepaskan keyakinan bahwa beberapa hal sebetulnya benar dan salah, bukan hanya produk dari perasaan dan preferensi budayanya. Sama seperti dia mengenal realitas dari dunia matematis yang ada secara bebas dari kita manusia, jadi dia harus mengakui realitas dari dunia moral yang baik dan jahat. Kebenaran moral yang menyalahgunakan anak-anak adalah salah adalah benar dengan cara yang sama dengan dua ditambah dua sama dengan empat. Tapi keyakinan semacam itu benar dan salah tidak masuk akal dalam pandangan dunia ateistik di mana moralitas, jika itu ada, adalah benar-benar subjektif – sesuatu yang manusia telah berevolusi untuk keuntungan sosial. Keyakinannya yang tumbuh bahwa moralitas adalah kenyataan yang tetap dan objektif hanya masuk akal jika ada Tuhan.


Perubahan kepercayaannya menyebabkan serangan balasan dari komunitas ateis

Perubahan kepercayaannya ke agama Kristen menyebabkan sebuah reaksi yang buruk dari komunitas ateis dan menarik perhatian publik saat dia menceritakan kisahnya kepada saluran berita CNN. Dalam wawancaranya Leah menjelaskan bahwa sementara banyak pertanyaan yang tersisa, Kekristenan menjelaskan hal-hal yang dia yakin lebih baik dari pada ateismenya. Seperti yang dia katakan: "Moralitas adalah sesuatu yang kita temukan seperti arkeolog, bukan sesuatu yang kita bangun seperti arsitek. Kekristenan menawarkan penjelasan untuk hal itu yang sangat membangkitkan minat."

Ketika Leah datang ke acara itu, saya mengatur dia untuk berdialog dengan Hemant Mehta, seorang teman blogger dari jaringan ateis yang sama dengan yang dulu pernah ia ikuti. Blognya disebut 'Friendly Atheist' dan dia adalah salah satu yang pertama mengirim tanggapan kritis terhadap konversi ahli matematika tersebut. Untuk pertemuan ini, Mehta tidak terlalu 'ramah' seperti 'bingung'.  Dia mengakui bahwa dia bahkan tidak bisa memahami semua terminologi filosofisnya, apalagi cara berpikirnya. Apalagi, ia tidak bisa memahami tentang apa itu argumen moral yang telah  merasukinya untuk menjadi seorang Kristen, terutama di dunia di mana Tuhannya mengijinkan kejahatan dan penderitaan untuk ada.

Mungkin, sekali lagi, kisah CS Lewis dapat membantu di sini.  Seperti Mehta, Lewis menentang Tuhan berdasarkan kejahatan yang dia lihat di dunia, tetapi konversinya mencerminkan dari pandangan Leah ketika dia menyadari bahwa keberatannya hanya masuk akal jika adanya alam moral: "Argumen saya melawan Tuhan yang adalah bahwa alam semesta tampak begitu kejam dan tidak adil.  Tapi bagaimana saya bisa mendapat ide tentang keadilan dan ketidakadilan ini?  Seorang manusia tidak menyebut sebuah garis bengkok kecuali dia memiliki ide akan sebuah garis lurus. Dengan apa saya membandingkan alam semesta ketika saya menyebutnya tidak adil?"


Mehta mungkin bingung dengan kisah konversi Lewis seperti dengan kisah Leah, namun kisah matematikawan muda ini adalah bukti bahwa beberapa jalan ke Kristus melibatkan perjalanan intelektual yang mendalam dan bahwa argumen moral tersebut terus menjadi alasan kuat bagi para skeptis untuk merangkul Tuhan.

(Sumber: Believersportal)

Posting Komentar untuk "Perjalanan Tiga Wanita Ateis Kuat Menuju Kekristenan: Mengikuti Jejak CS Lewis"