Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Di Daerah Saya, Tidak Ada Yang Boleh Hidup Sebagai Orang Kristen" - Kisah Jonatan, Anak 15 Tahun


Ada kegelapan rohani yang menyelimuti di sepanjang pantai Karibia yang indah di Kolombia. Praktek kepercayaan Animisme yang turun-temurun terus diajarkan kepada anak-anak.

Di sini, anak-anak Kristen beresiko untuk diasingkan dan ditangkap dari komunitas mereka sendiri yang diatur secara ketat oleh hukum kesukuan.

Di pegunungan Sierra Nevada di Santa Marta tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, mereka memiliki bahasa dan kebiasaan masing-masing. Namun mereka bersatu dalam satu hal: mereka semua menganiaya dan mengusir siapa saja yang mengklaim nama Kristus. Selama satu dekade terakhir, telah terjadi peningkatan yang signifikan insiden kekerasan terhadap orang-orang Kristen pribumi, bahkan anak-anak. Hal ini mengakibatkan banyak orang Kristen melarikan diri dari desa mereka untuk mencari tempat tinggal dan kesempatan beribadah dengan damai. Beberapa bulan yang lalu, kami mendapat kehormatan bertemu dengan dua bersaudara, Jonathan dan Samuel.


Saat ini jam menunjukkan pukul 5:00 pagi di Casita. Hari ini panas yang menyengat telah diganti dengan angin sepoi-sepoi yang nyaman yang menyapa masyarakat setempat saat mereka bangun.

Meskipun masih pagi. 15 anak pribumi telah memulai tugas mereka sehari-hari. Sebagian anak menghabiskan waktu dalam doa pagi, sebagian lagi membantu menyiapkan sarapan pagi, dan yang terkecil berpakaian dan bersiap untuk bersekolah. Ke-15 anak ini adalah keluarga darurat pengungsi. Inilah anak-anak gereja yang teraniaya.

Saat penganiayaan meningkat di wilayah pribumi Kolombia, Open Doors telah membangun tempat yang aman untuk anak-anak. Dinamakan Casita oleh anak-anak, tempat penampungan tersebut memberi kesempatan bagi anak-anak dan remaja untuk belajar dan menunjukkan iman mereka secara bebas.

Tujuan Utama: Mempaktekkan Iman Mereka Secara Bebas

Sebelumnya, anak-anak ini menghadiri sekolah desa mereka di mana mereka diajarkan agama animisme masyarakat setempat. Jenis pendidikan ini dirancang untuk melestarikan tradisi dan melarang "agama baru" seperti agama Kristen. Mereka belajar tentang perdukunan dan pesona di bawah otoritas utama desa yang dikenal sebagai Mamo, atau penyihir. Setiap orang tua yang menolak untuk menegakkan agama ini dapat dihukum dengan kehilangan tanah dan bahkan dilakukan penyiksaan fisik. Untuk alasan ini, keluarga Kristen pribumi sering melakukan perjalanan jauh untuk mempraktekkan iman mereka secara bebas.

Begitulah dua bersaudara ini, Jonatan (15 tahun) dan Samuel (14 tahun), datang ke Casita.

"Di daerah saya berasal, tidak ada yang bisa hidup sebagai orang Kristen, juga tidak boleh membaca Alkitab karena telah dilarang," Jonatan menjelaskan. "Ayah saya, meskipun dia bukan orang beriman, memberi saya izin untuk datang ke Casita dan belajar lebih banyak tentang Tuhan."

Jonatan dan Samuel dibesarkan di komunitas Arhuacos di Kolombia, dan Jonatan dengan bangga mengenakan pakaian tradisional Arhuacos. Jonatan dan Samuel sering mengajar teman-teman mereka bahasa ibu mereka. "Pakaian, bahasa dan budaya kita penting," jelas Jonatan. "Hal-hal ini mengidentifikasi kita dan merupakan bagian dari diri kita sendiri."

Pelarangan Kekristenan: Hukum Kesukuan dan Pemerintah yang Membisu


Hubungan rumit Kolombia dengan kebebasan beragama mendarat di nomor 50 di World Watch List' Open Doors. Suku-suku seperti orang Arhuaco membenarkan kebijakan eksklusif mereka melalui konstitusi Kolombia, yang memberikan otonomi agama sebagai hak bagi semua masyarakat adat.

Komunitas kesukuan ini mengelola keadilan mereka sendiri sesuai dengan norma budaya mereka, dan karenanya pemerintah diharuskan untuk menghormati keputusan internal mereka, tetap diam dalam masalah penganiayaan Kristen. Seringkali pelarangan terhadap kekristenan ini begitu radikal dan penuh kekerasan sehingga orang-orang yang melanggar menghadapi penyiksaan dan pemenjaraan.

(Sumber: Opendoorsusa.org)

Posting Komentar untuk ""Di Daerah Saya, Tidak Ada Yang Boleh Hidup Sebagai Orang Kristen" - Kisah Jonatan, Anak 15 Tahun"