Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesaksian Mereka yang Selamat dari Bom Gereja Surabaya


Minggu, 13 Mei 2018 menjadi hari berduka untuk seluruh masyarakat Indonesia. Surabaya menjadi target serangkaian serangan teroris, yang meledakkan tiga gereja dalam jangka waktu hampir bersamaan.

Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro Surabaya, dan GPPS Sawahan di Jalan Arjuno menjadi korban dari serangan teror yang diduga dilakukan dengan bom bunuh diri.


Hingga berita ini diturunkan, setidaknya tercatat 11 korban jiwa yang tewas akibat peristiwa ini. Sementara ada puluhan lainnya yang mengalami luka-luka dan ratusan jemaat yang terpaksa menghentikan aktivitas kebaktian pada Minggu pagi.

Natalia Tri Astuti, jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro

Pagi itu saya dan anak saya pergi ke gereja untuk ikut ibadah jam 08:00 dan 10:00 WIB. Kebetulan saya bertugas melayani di paduan suara. Sebelum kebaktian pukul 08:00 dimulai, saya harus latihan paduan suara di lantai 1 gedung gereja. Sementara anak saya bersekolah minggu di lantai tiga, jadi saya antar anak dulu, saya titip anak ke kakak sekolah minggunya, karena sudah biasa juga.

Pas sekitar dua menit tiga menit itu, meledaklah bom pertama. Waktu itu kakak sekolah minggu anak saya juga berpikir mungkin ini dari suara petasan, pertanda awal puasa. Karena saat itu posisi kami di lantai 3. Enggak curiga sama sekali.

Baca juga: Doa Paus Fransiskus untuk korban Bom Surabaya

Selang dua menit kemudian, meledaklah bom kedua. Kami masih berpikir itu ledakan petasan dan masih main dengan anak. Setelah lima menitan, akhirnya bom ketiganya yang agak kencang meledak. Setelah itu jemaat gereja dan anak-anak kecil semua lari ke lantai tiga dan teriak-teriak.

Waktu itu saya dikabari kalau sudah ada korban meninggal yang tergeletak. Akhirnya saya mikir saya enggak mungkin pisah dari anak saya. Akhirnya kami semua berkumpul di lantai tiga. Semua pada mencari anak-anaknya masing-masing. Suasananya ramai dan kacau balau. Waktu itu saya tahu bahwa ledakan itu adalah bom bunuh diri. Dan barulah kami tahu bahwa gereja saya adalah lokasi kedua ledakan.

Semua jemaat pada nangis-nangis semua. Setelah ledakan ketiga ada majelis jemaat yang tadinya berpikir untuk tetap menjalankan ibadah. Tapi kan enggak mungkin melaksanakan ibadah dalam kondisi semua syok dan trauma gemetaran. Akhirnya setelah berkoordinasi dengan polisi juga, sekitar 10 menit setelah ledakan ketiga, gereja disterilkan. Semua dievakuasi ke toko kue dekat gereja. Ya, melewati mayat-mayat yang ada di parkiran.

Saya bersyukurnya, saya datang sekitar setengah jam sebelum kebaktian jam 08:00 dimulai. Kalau tidak ada paduan suara, biasanya saya mengantar anak untuk sekolah minggu sekitar jam delapan kurang. Kalau misalnya saya datang jam itu, pas posisi masih ada di parkiran, masih harus turun dari mobil dan melewati parkiran.


Saya sama anak saya berangkat naik taksi online. Sempat pusing juga bagaimana cara pulang, karena area di seputaran Diponegoro juga ditutup. Akhirnya saya mikir, siapapun teman yang naik mobil, saya mau numpang. Waktu melewati garis polisi juga saya minta dikawal polisi karena masih banyak orang di situ. Saya enggak tahu mana yang baik, mana yang jahat, saya masih takut.

Ketakutan itu tetap terasa. Namanya enggak menduga-menduga bakalan seperti itu. Selama ini kan Jawa Timur terkenal aman dan Diponegoro juga di pusat kota Surabaya. Dirasa aneh kalau tiba-tiba ada kejadian. Tapi imbauan dari pendeta agar kami tidak menanggapi secara berlebihan dan tidak membalas perbuatan mereka.


Untungnya ciri-ciri pelaku masih bisa dikenali dengan mudah karena mereka bercadar dan mencurigakan. Enggak kebayang kalau mereka terlihat biasa dan melebur dengan jemaat masuk ke dalam gereja, pasti akan lebih banyak korban, karena kita enggak tahu kan siapa yang menyamar. Waktu saya dievakuasi ke toko kue juga disarankan agar tidak bergerombol karena kami tidak tahu siapa saja bisa menyamar.

Akhirnya setelah dievakuasi itu, untungnya juga ada teman saya yang bisa menjemput, meski lokasi penjemputannya sekitar 2 kilometer. Saya berjalan kaki sama anak saya, panas-panasan, bagaimana caranya supaya menjauh dulu dari gereja, karena suasanya masih mencekam kalau masih di seputaran gereja. Akhirnya sekitar jam 16:00 WIB saya sampai di rumah untuk menenangkan diri. Apalagi saya cuma berdua dengan anak saya, karena suami sedang sekolah S2 di Thailand.

Baca juga: 10 Orang Tewas Dalam Serangan di Sebuah Sekolah Kristen Sudan Selatan

Suami saya sempat panik juga, karena enggak bisa ngapa-ngapain. Tadinya mau langsung balik ke Indonesia tapi saya berusaha menenangkan dia. Karena di sini sudah tenang, yang penting doanya. Anak saya yang masih berusia 13 bulan waktu saya bawa lari-lari saat evakuasi untungnya tidak rewel. Bahkan dia sempat cengengesan melihat saya. Waktu itu saya tutupi kepala dan wajahnya saat kami melewati lokasi ledakan menuju tempat evakuasi. Untunglah dia belum mengerti.

Sekarang ini, kalau saya sih tetap melihat situasi dan kondisi. Update dari majelis gereja juga pasti ada. Kabarnya lokasi juga masih disisir polisi dan belum dibersihkan. Jadi saya tetap waspada sambil menanti perkembangan yang ada.

Prambudi, driver di salah satu perusahaan farmasi, korban selamat dari ledakan bom di GPPS Arjuno


Ledakan di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) terjadi sekitar pukul setengah 8. Pada saat itu saya berada di lantai dua gereja, sedang menjalankan kebaktian Minggu.

Begitu mendengar ledakan yang sepertinya datang dari luar gereja, para jemaat langsung panik. Ledakan berasal dari pintu di lantai dasar gereja sehingga saat ledakan terdengar para jemaat langsung berlarian masuk ke arah dalam gereja dan berusaha untuk naik untuk ke luar.

Saat saya sedang berusaha keluar, saya melihat seorang anak perempuan yang terluka. Tanpa pikir panjang saya langsung berusaha menolong anak perempuan ini. Pelipisnya sobek. Saat saya sedang bergegas ingin membawanya ke poliklinik terdekat, ayahnya datang.

Jarak saya dengan ledakan sekitar 15 meter dan sepertinya ledakan yang terjadi cukup besar.

Bapak & Ibu F.X. Kamudjijono, kakak dari Ari, korban luka dari ledakan bom di GKI Diponegoro


Saya tidak terlalu tahu bagaimana kronologi kejadiannya karena kami berada di luar gereja. Kaget, karena Whatsapp bunyi terus, dan saat saya buka ternyata dapat kabar bahwa gereja dibom. Otomatis kami langsung balik lagi ke gereja karena kami tahu masih ada misa kedua dan setelah itu akan ada rekoleksi untuk calon komuni pertama. Anak saya yang paling kecil mau komuni pertama, jadi pikiran saya cukup kacau. Apalagi saya tau bahwa Ari menjadi salah satu penjaga keamanan gereja pagi itu.


Tanpa rasa takut, kami langsung bergegas ke gereja. Kami ingin membantu menolong korban dan membersihkan gereja. Sampai sana, ya Tuhan, keadaannya membuat saya menangis. Gereja rusak, ada korban di depan gereja. Saya langsung menenangkan jemaat yang panik dan berdiri di luar tempat bom meledak. Mereka menangis, shock, semuanya kalut.

Baca juga: Anak dan Menantunya Dibunuh ISIS, Ibu Ini Memaafkan Pelakunya dan Berdoa untuk Mereka

Ari sendiri berada di lokasi yang tidak jauh dari Bayu, koordinator keamanan gereja yang tewas karena menghalau pelaku bom bunuh diri. Meskipun seorang Muslim, Ari memang terbiasa menjaga gereja saat ada misa dan kebaktian. Setelah kejadian dia langsung dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Laut dan sampai sekarang kami belum bisa menemuinya.

Kesaksian Mengerikan Ledakan Bom di GKI Diponegoro Surabaya

1. Ledakan terjadi di sekitar area parkir GKI Diponegoro


Octavianus Rewah salah satu jemaat GKI Diponegoro menyebutkan ledakan bom terjadi pada pukul 07.45 WIB. Saat itu, ia bersama keluarganya mendapat giliran ibadah kedua yakni pukul 08.00 WIB.

"Tetapi saya jam 07.00 lebih sudah di gereja. Semua jemaat sudah siap untuk ibadah. Lalu terdengar suara ledakan pertama dan kedua beruntun. Terus ada teriakan minta tolong, saya keluar dari dalam gedung (gereja)," ujar Rewah.

2. Ledakan susulan juga terjadi di TKP saat sudah jatuh korban jiwa


Sementara, jemaat lainnya, Ishak Rahanyaan mengaku berdekatan dengan Rewah saat kejadian. Ia sempat melihat ledakan ketiga yang berjarak sekitar lima menit dari ledakan sebelumnya. Bahkan, ia melihat tubuh pelaku melayang akibat ledakan bom.

"Tukang parkir itu sempat mengangkat bagian atas pelaku, dia pakai cadar bersama satu remaja dan anak kecil, sepertinya anaknya. Semua perempuan. Lalu disuruh mundur, ternyata ada ledakan lagi, tubuhnya langsung terlempar ke atas setinggi empat meter lalu jatuh lagi," cerita pria 64 tahun itu.


3. Saat ledakan jemaat langsung berlarian menyelamatkan diri


Setahu Ishak, korban yang tergeletak yakni sekuriti, Yesaya, dan tiga pelaku. Sementara, korban luka empat orang, yakni dua anak-anak, satu perempuan dewasa, dan satu orang dari majelis.

"Orang-orang pada lari semua keluar. Mereka ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri," ungkap Ishak.

Baca juga: Teror Bom di Surabaya. Jubir Polda Jatim & PGI: "Jangan Sebarkan Foto-Foto Korban"

Sedangkan, ledakan keempat yakni dilakukan oleh Tim Gegana dalam upaya penjinakkan bom pada pukul 10.45 WIB.

Saat ini, GKI Diponegoro masih dilakukan sterilisasi kepolisian dan awak media dilarang mendekat di luar garis polisi. Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah meninjau lokasi kejadian pada pukul 13.20 WIB, didampingi Kapolda Jatim Irjen Pol Machfud Arifin, Gubernur Jatim Soekarwo, dan Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Rudi Setiawan.

(Sumber: Rappler.com)

Posting Komentar untuk "Kesaksian Mereka yang Selamat dari Bom Gereja Surabaya"